Tampilkan postingan dengan label Kisah Khulafaur Rasyidin. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah Khulafaur Rasyidin. Tampilkan semua postingan
Ali Bin Abu Thalib
Demikianlah slogan
yang selalu didengung-dengungkan oleh kaum muslimin ketika perang Uhud
yang amat dahsyat itu tengah berlangsung. Dalam perang tersebut, Ali bin
Abu Thalib memperlihatkan ketangguhannya sebagai seorang pahlawan islam
yang gagah perkasa. Ia di kenal sebagai jagoan bangsa Arab yang
mempunyai kemahiran memainkan pedang dengan tangguh. Sementara itu, baju
besi yang dimilikinya berbentuk tubuh bagian depan di kedua sisi, dan
tidak ada bagian belakangnya. Ketika di tanya,"Mengapa baju besimu itu
tidak dibuatkan bagian belakangnya, Hai Abu Husein?" Maka Ali bin Abu
Thalib akan menjawabnya dengan mudah,"Kalau seandainya aku menghadapi
musuhku dari belakang, niscaya aku akan binasa."
Ketika
terjadi perang Badar antara kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy, di
mana kaum muslimin memperoleh kemenangan yang telak, maka korban yang
berjatuhan di pihak kaum Quraisy berjumlah tujuh puluh orang. Konon
sepertiga korban yang tewas dari pihak kaum Quraisy pada perang badar
itu merupakan persembahan khusus dari Ali bin Abu Thalib dan Hamzah bin Abdul Muthalib.
Sementara
itu Amru bin Wud Al 'Amiri, seorang jawara yang tangguh dari kaum kafir
Quraisy ikut serta dalam perang Khandak. Dengan angkuhnya ia
menari-nari di atas kudanya sambil memainkan pedangnya dan mengejek kaum
muslimin seraya berkata,"Hai kaum muslimin, manakah surga yang telah
dijanjikan kepadamu bahwa orang yang gugur diantaramu akan masuk
kedalamnya? inilah dia surga yang kini berada di hadapan-mu, maka
sambutlah."
Namun nyatanya tak ada
seorangpun dari kaum muslimin yang berani maju untuk menjawab tantangan
yang dilontarkan Amru bin Wud , yang terkenal bengis dan kejam itu. Tak
lama kemudian Ali bin Abu Thalib pun berdiri dan berkata kepada
Rasulullah," Ya Rasulullah, kalau Anda mengijinkan, maka saya akan maju
untuk bertarung melawannya" Rasulullah menjawab,"Hai Ali, Bukankah dia
itu Amru bin Wud, jagoan kaum Quraisy yang ganas itu?" Ali bin Abu
Thalib pun menjawab,"Ya, Saya tahu dia itu adalah Amru bin wud, akan
tetapi bukankah ia juga manusia seperti kita?" Akhirnya Rasulullah
mengijinkan untuk bertarung melawannya.
Selang
beberapa saat kemudian, Ali bin Abu Thalib telah maju ke gelanggang
pertarungan untuk bertarung melawan Amru bin Wud. Lalu Amru bertanya
seraya memandang remeh kepadanya,"Siapakah kamu hai anak muda?", "Aku
adalah Ali." Amru bin Wud bertanya lagi,"Kamu anak Abdul Manaf?",
"Bukan, Aku anak Abu Thalib." Lalu Amru bin Wud berkata,"Kamu jangan
maju ke sini hai anak saudaraku! Kamu masih kecil. Aku hanya
menginginkan orang yang lebih tua darimu, karena aku pantang menumpahkan
darahmu." Ali bin Abu Thalib menjawab,"Jangan sombong dulu hai Amru!
Aku akan buktikan bahwa aku dapat merobohkan-mu hanya dalam beberapa
detik saja dan aku tidak segan-segan untuk menghantarkan-mu ke liang
kubur."
Betapa marahnya Amru bin Wud
mendengar jawaban Ali bin Abu Thalib itu. Lalu ia turun dari kuda dan
dihunus-nya pedang miliknya itu ke arah Ali bin Abu Thalib. Sementara
itu Ali bin Abu Thalib menghadapinya dengan tameng di tangan kirinya.
Tiba-tiba
Amru bin Wud melancarkan serangannya dengan pedang. Dan Ali pun
menangkis serangan itu dengan menggunakan tamengnya yang terbuat dari
kulit binatang sehingga pedang Amru tertancap di tameng itu. Maka
secepat kilat Ali menghantamkan dengan keras pedang Zulfikar pada
tengkuknya hingga ia tersungkur ke tanah dan bersimbah darah, dan kaum
kafir Quraisy lainnya yang melihat itu lari tunggang langgang.
Pada suatu ketika Rasulullah mengutus pasukan kaum muslim ke Wilayah Khaibar di bawah pimpinan Abu Bakar As Siddiq.
Lalu pasukan tersebut berangkat untuk menembus benteng pertahanan
Khaibar. Dengan mengerahkan segala daya kekuatan mereka berusaha
membobol benteng tersebut, namun pintu benteng tersebut sangat kokoh
sehingga sukar untuk ditembus-nya.
Keesokkan harinya, Rasulullah mengutus Umar bin Khattab untuk
memimpin pasukan untuk menaklukkan benteng tersebut. Dengan semangat
yang berkobar-kobar akhirnya terjadilah peperangan yang dahsyat antara
dua pasukan bersenjata itu. Umar terus membangkitkan semangat anak
buahnya agar dapat menguasai benteng khaibar, namun upaya mereka belum
membuahkan hasil meskipun telah berusaha sekuat tenaga dan mereka pun
pulang dengan tangan hampa.
Setelah
itu Rasulullah SAW bersabda,"Esok hari aku akan berikan bendera ini
kepada seorang laki-laki yang dicintai Allah dan Rasulnya. Dan
mudah-mudahan Allah akan membukakan pintu kemenangan bagi kaum muslimin
melalui kedua tangannya, sedangkan ia sendiri bukan termasuk seorang
pengecut."
Maka para sahabat
bertanya-tanya "Siapakah laki-laki yang beruntung itu?" Akhirnya setiap
orang dari para sahabat itu berdoa dan memohon kepada Allah agar dialah
yang di maksud oleh Rasulullah.
Dan
keesokkan harinya Rasulullah ternyata menyerahkan bendera kepemimpinan
itu kepada Ali bin Abu Thalib yang sedang menderita penyakit mata.
Kemudian Rasulullah meludahi kedua belah matanya yang sedang sakit
hingga sembuh seraya berkata,"Hai Ali, terimalah bendera perang ini dan
bawalah pasukan kaum muslimin bersamamu menuju benteng Khaibar hingga
Allah membukakan pintu kemenangan bagi kaum muslimin."
Lalu
Ali bin Abu Thalib memimpin pasukan dan memusatkan pasukannya pada
sebuah batu karang besar dekat benteng guna menghimpun kekuatan kembali.
Tak lama kemudian ia memberikan komando untuk bersiap-siap menyerbu ke
benteng dan akhirnya terjadilah perang yang sengit antara kaum muslimin
dengan orang-orang yahudi di sana.
Ali bin Abu Thalib
memainkan pedang Zulfikar-nya dengan gesit dan menghunuskan kepada
musuhnya yang berani menghadang. Tidak ada musuh pun yang selamat dari
kelebatan pedang yang di genggam Ali. Akan tetapi seorang yahudi
tiba-tiba menghantamkan pedang kearahnya dengan keras. Secepat kilat di
tangkis serangan itu dengan tamengnya, hingga terjatuh tamengnya itu.
Akhirnya ia raih sebuah pintu besar yang terbuat dari besi yang berada
di sekitar benteng dan dijadikan-nya sebagai tameng dari serangan pedang
orang-orang yahudi lainnya. Dan ia tetap menggunakan pintu besar itu
hingga perang usai dan kaum muslimin memperoleh kemenangan.
Abu
Rofi' seorang sahabat yang ikut perang itu menyatakan,"Aku telah
menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Ali bin Abu Thalib
mencabut pintu besi yang besar itu untuk dijadikan tameng-nya, Setelah
tameng-nya terjatuh dari tangannya." Kemudian setelah perang usai, ada
delapan orang laki-laki, salah seorang diantaranya adalah aku sendiri,
yang berusaha untuk menggotong dan menempatkan kembali pintu besi itu ke
tempat semula, tetapi mereka tidak mampu untuk melakukannya karena
terlalu berat."
Tentang Ali Bin Abu Tholib
Ali
bin Abu Thalib, paman Nabi saw, bin Abdul Muththalib, bin Hasyim, bin
Abdi Manaf, bin Qushayy. Ibunya adalah, Fathimah binti Asad, bin Hasyim,
bin Abdi Manaf. Saudara-saudara kandungnya adalah: Thalib, 'Uqail,
Ja'far dan Ummu Hani.
Dengan
demikian, jelaslah, Ali bin Abu Thalib adalah berdarah Hasyimi dari
kedua ibu-bapaknya. Keluarga Hasyim memiliki sejarah yang cemerlang
dalam masyarakat Mekkah. Sebelum datangnya Islam, keluarga Hasyim
terkenal sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, dan pemegang
kepemimpinan masyarakat. Ibunya adalah Fathimah binti Asad, yang
kemudian menamakannya Haidarah. Haidarah adalah salah
satu nama singa, sesuai dengan nama ayahnya: Asad (singa). Fathimah
adalah salah seorang wanita yang terdahulu beriman dengan Risalah Nabi
Muhammad Saw. Dia pula-lah yang telah mendidik Nabi Saw, dan menanggung
hidupnya, setelah meninggalnya bapak-ibu beliau, Abdullah dan Aminah.
Beliau kemudian membalas jasanya, dengan menanggung kehidupan Ali bin
Abu Thalib, untuk meringankan beban pamannya, Abu Thalib, pada saat
mengalami kesulitan ekonomi. Saat Fathimah (Ibu Ali bin Abu Thalib)
meninggal dunia, Rasulullah Saw yang mulai mengkafaninya dengan baju
gamisnya, meletakkannya dalam kuburnya, dan menangisinya, sebagai
tangisan seorang anak atas ibunya. Dan bersabda,
"Semoga
Allah SWT memberikan balasan yang baik bagi ibu asuhku ini. Engkau
adalah orang yang paling baik kepadaku, setelah pamanku dan almarhumah
ibuku. Dan semoga Allah SWT meridhai-mu."
Dan
karena penghormatan beliau kepadanya, maka beliau menamakan anaknya
yang tersayang dengan namanya: Fathimah. Darinyalah kemudian mengalir
nasab beliau yang mulia, yaitu anak-anaknya: Hasan, Husein, Zainab al
Kubra dan Ummu Kultsum.
Haidarah
adalah nama lain Imam Ali bin Abu Thalib yang dipilihkan oleh ibunya.
Namun ayahnya menamakannya dengan Ali, sehingga dia terkenal dengan dua
nama tersebut, meskipun nama Ali kemudian lebih terkenal.
Sifat Ali Bin Abu Tholib
Ali
Bin Abu Thalib tumbuh menjadi anak yang cepat matang. Di wajahnya
tampak jelas kematangannya, yang juga menunjukkan kekuatan, dan
ketegasan. Saat ia menginjak usia pemuda, ia segera berperan penuh dalam
dakwah Islam, tidak seperti yang dilakukan oleh pemuda seusianya.
Contoh yang paling jelas adalah keikhlasannya untuk menjadi tameng
Rasulullah Saw saat beliau hijrah, dengan menempati tempat tidur beliau.
Ia juga terlibat dalam peperangan yang hebat, seperti dalam perang Al
Ahzab, dia pula yang telah menembus benteng Khaibar. Sehingga dia
dijuluki sebagai pahlawan Islam yang pertama.
Ali
bin Abu Thalib adalah seorang dengan perawakan sedang, antara tinggi
dan pendek. Perutnya agak menonjol. Pundaknya lebar. Kedua lengannya
berotot, seakan sedang mengendarai singa. Lehernya berisi. Bulu
jenggotnya lebat. Kepalanya botak, dan berambut di pinggir kepala.
Matanya besar. Wajahnya tampan. Kulitnya amat gelap. Postur tubuhnya
tegap dan proporsional. Bangun tubuhnya kokoh, seakan-akan dari baja.
Berisi. Jika berjalan seakan-akan sedang turun dari ketinggian, seperti
berjalannya Rasulullah Saw. Seperti dideskripsikan dalam kitab Usudul
Ghaabah fi Ma'rifat ash Shahabah: adalah Ali bin Abi Thalib bermata
besar, berkulit hitam, berotot kokoh, berbadan besar, berjenggot lebat,
bertubuh pendek, amat fasih dalam berbicara, berani, pantang mundur,
dermawan, pemaaf, lembut dalam berbicara, dan halus perasaannya.
Jika
ia dipanggil untuk berduel dengan musuh di medan perang, ia segera maju
tanpa gentar, mengambil perlengkapan perangnya, dan menghunuskan
pedangnya. Untuk kemudian menjatuhkan musuhnya dalam beberapa langkah.
Karena sesekor singa, ketika ia maju untuk menerkam mangsanya, ia
bergerak dengan cepat bagai kilat, dan menyergap dengan tangkas, untuk
kemudian membuat mangsa tak berkutik.
Tadi adalah sifat-sifat fisiknya. Sedangkan sifat-sifat kejiwaannya, maka ia adalah sosok yang sempurna, penuh dengan kemuliaan.
Keberaniannya
menjadi perlambang para kesatria pada masanya. Setiap kali ia
menghadapi musuh di medan perang, maka dapat dipastikan ia akan
mengalahkannya.
Seorang yang takwa tak terkira, tidak mau masuk dalam perkara yang syubhat, dan tidak pernah melalaikan syari'at.
Seorang
yang zuhud, dan memilih hidup dalam kesederhanaan. Ia makan cukup
dengan berlauk-kan cuka, minyak dan roti kering yang ia patahkan dengan
lututnya. Dan memakai pakaian yang kasar, sekadar untuk menutupi tubuh
di saat panas, dan menahan dingin di kala hawa dingin menghempas.
Penuh
hikmah, adalah sifatnya yang jelas. Dia akan berhati-hati meskipun
dalam sesuatu yang ia lihat benar, dan memilih untuk tidak mengatakan
dengan terus terang, jika hal itu akan membawa mudharat bagi umat. Ia
meletakkan perkara pada tempatnya yang tepat. Berusaha berjalan seirama
dengan rekan-rekan pembawa panji dakwah, seperti keserasian
butiran-butiran air di lautan.
Ia
bersikap lembut, sehingga banyak orang yang sezaman dengannya melihat ia
sedang bergurau, padahal hal itu adalah suatu bagian dari sifat
kesempurnaan yang melihat apa yang ada di balik sesuatu, dan memandang
kepada kesempurnaan. Ia menginginkan agar realitas yang tidak sempurna
berubah menjadi lurus dan meningkat ke arah kesempurnaan. Gurauan adalah
'anak' dari kritik. Dan ia adalah 'anak' dari filsafat. Menurutku,
gurauan yang tepat adalah suatu tanda ketinggian intelektualitas para
tokoh pemikir dalam sejarah.
Ia
terkenal kefasihannya. Sehingga ucapan-ucapannya mengandung nilai-nilai
sastra Arab yang jernih dan tinggi. Baik dalam menciptakan peribahasa
maupun hikmah. Ia juga mengutip dari redaksi Al Quran, dan hadits
Rasulullah Saw, sehingga menambah benderang dan semerbak kata-katanya.
Yang membuat dirinya berada di puncak kefasihan bahasa dan sastra Arab.
Ia
amat loyal terhadap pendidiknya, Nabi-nya, juga Rabb-nya. Serta berbuat
baik kepada kerabatnya. Amat mementingkan isterinya yang pertama,
Fathimah az Zahra. Dan ia selalu berusaha memberikan apa yang baik dan
indah kepada orang yang ia senangi, kerabatnya atau kenalannya.
Ali
Bin Abu Thalib berpendirian teguh, sehingga menjadi tokoh yang namanya
terpatri dalam sejarah. Tidak mundur dalam membela prinsip dan sikap.
Sehingga banyak orang yang menuduhnya bodoh dalam politik, tipu daya
bangsa Arab, dan dalam hal melembutkan sikap musuh, sehingga kesulitan
menjadi berkurang. Namun, sebenarnya kemampuannya jauh di atas praduga
yang tidak benar, karena ia tahu apa yang ia inginkan, dan menginginkan
apa yang ia tahu. Sehingga, di samping kemanusiaannya, ia seakan-akan
adalah sebuah gunung yang kokoh, yang mencengkeram bumi.
Istri-istri Ali Bin Abu Tholib
Setelah
Fathimah az Zahra wafat, Imam Ali menikahi Umamah bin Abi Al Ash bin
Rabi' bin Abdul Uzza al Qurasyiyyah. Selanjutnya menikahi Umum Banin
bini Haram bin Khalid bin Darim al Kulabiyah. Kemudian Laila binti
Mas'ud an Nahsyaliyyah, ad Daarimiyyah dari Tamim. Berikutnya Asmaa
binti 'Umais, yang sebelumnya merupakan isteri Ja'far bin Abi Thalib,
dan selanjutnya menjadi isteri Abu Bakar (hingga ia meninggal), dan
berikutnya menjadi isteri imam Ali. Selanjutnya ia menikahi Ummu Habib
ash Shahbaa at Taghalbiyah. Kemudian, Khaulah binti Iyas bin Ja1far al
Hanafiyyah. Selanjutnya Ummu Sa'd ats Tsaqafiyyah. Dan Mukhabba'ah
bintih Imri'il Qais al Kulabiyyah.
Menjadi Khalifah
Ketika Ali bin Abu Thalib di angkat menjadi khalifah ke empat menggantikan Khalifah Ustman bin Affan,
maka ia tidak pernah melakukan kecurangan ataupun penyelewengan dalam
pemerintahannya. Ia tidak pernah melakukan korupsi ataupun memakan uang
rakyat yang terdapat di "baitul maal." Namun Ia lebih memilih untuk
bekerja sendiri ataupun menjual harta benda miliknya sendiri untuk
mencukupi kehidupannya sehari-hari.
Bahkan
diceritakan bahwa Ia pernah pergi ke pasar untuk menawarkan pedangnya
kepada orang-orang yang berada di sana sambil berkata,"Adakah di antara
kalian yang akan membeli pedangku ini, karena hari ini aku sedang tidak
mempunyai uang?" Kemudian orang-orang balik bertanya kepadanya,"Bukankah
anda seorang Khalifah yang mempunyai uang banyak ya Amirul Mukminin?"
Lalu Ali pun menjawab,"Kalau seandainya aku mempunyai uang empat dirham
saja, tentu aku tidak akan menjual pedang kesayanganku ini."
Pernah
suatu ketika Ali bin Abu Thalib tengah menangis di mihrab Masjid Nabawi
seraya berkata,"Wahai dunia, janganlah engkau berupaya memperdayai-ku
Tetapi perdaya-lah orang-orang selain-ku. Sungguh aku telah
menceraikanmu dari diriku dan jangan engkau kembali kepadaku!"
Akhirnya
lelaki yang dicintai Allah dan Rasul-NYA ini gugur sebagai syahid di
dekat pintu masjid Kufah pada 17 Ramadhan 40 H, akibat di tikam dengan
pedang beracun di bagian kening oleh Abdurrahman bin Muljam, ketika ia
akan melaksanakan salat subuh berjamaah dengan kaum muslimin.
Bagaimanapun
sejarah telah mencatat Bahwa Sayyidina Ali Bin Abu Thalib KW adalah
seorang laki-laki yang gagah berani, tangkas cerdas, dan dicintai Allah
dan Rasul-Nya.
Utsman Bin Affan
Pada tahun
pertama dari khilafah Usman bin Affan, yaitu tahun 24 Hijriah, negeri
Rayyi berhasil ditaklukkan. Sebelumnya, negeri ini pernah ditaklukkan,
tetapi kemudian dibatalkan. Pada tahun yang sama, berjangkit wabah demam
berdarah yang menimpa banyak orang. Khalifah Usman bin Affan sendiri
terkena sehingga beliau tidak dapat menunaikan ibadah haji. Pada tahun
ini, Usman bin Affan mengangkat Sa'ad bin Abi Waqqash menjadi gubernur Kufah menggantikan Mughirah bin Syu'bah.
Di
tahun 25 Hijriah, Usman bin Affan memecat Sa'ad bin Abi Waqqash dari
jabatan gubernur Kufah dan sebagai gantinya diangkatlah Walid bin Uqbah
bin Abi Mu'ith (seorang shahabi dan saudara seibu dengan Usman bin
Affan). Inilah sebab pertama dituduhnya Usman bin Affan melakukan
nepotisme.
Pada tahun 26
Hijriah, Usman bin Affan melakukan perluasan Masjidil Haram dengan
membeli sejumlah tempat dari para pemiliknya lalu disatukan dengan
masjid. Pada tahun 17 Hijriah, Mu'awiyah melancarkan serangan ke Qubrus
(Siprus) dengan membawa pasukannya menyeberangi lautan. Di antara
pasukan ini terdapat Ubadah bin Shamit dan istrinya, Ummu Haram binti
Milhan al-Ansharish. Dalam perjalanan, Ummu Haram jatuh dari
kendaraannya kemudian syahid dan dikuburkan di sana. Nabi saw pernah
memberi-tahukan kepada Ummu Haram tentang pasukan ini, seraya berdoa
agar Ummu Haram menjadi salah seorang dari anggota pasukan ini. Pada
tahun ini, Usman bin Affan menurunkan Amru bin Ash dari jabatan gubernur
Mesir dan sebagai gantinya diangkatlah Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarh.
Dia kemudian menyerbu Afrika dan berhasil menaklukkannya dengan mudah.
Di tahun ini pula, Andalusia berhasil ditaklukkan.
Tahun 29 Hijriah, negeri-negeri lain berhasil ditaklukkan. Pada tahun
ini, Usman bin Affan memperluas Masjid Madinah Al Munawarah dan
membangunnya dengan batu-batu berukir. Ia membuat tiangnya dari batu
dan atapnya dari kayu (tatal). Panjangnya 160 depa dan luasnya 150 depa.
Negeri-negeri
Khurasan ditaklukkan pada tahun ke-30 Hijriah sehingga banyak terkumpul
kharaj (infaq penghasilan) dan harta dari berbagai penjuru. Allah
memberikan karunia yang melimpah dari semua negeri kepada kaum Muslimin.
Pada tahun 32 Hijriah, Abbas bin Abdul Muththalib, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Mas'ud, dan Abu Darda' wafat. Orang -orang yang pernah menjabat sebagai hakim negeri Syam sampai saat itu ialah Mu'awiyah, Abu Dzarr bin Jundab bin Junadah al-Ghiffari, dan Zaid bin Abdullah. Pada tahun ke-33 Hijriah, Abdullah bin Mas'ud bin Abi Sarh menyerbu Habasyah.
Pada tahun 32 Hijriah, Abbas bin Abdul Muththalib, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Mas'ud, dan Abu Darda' wafat. Orang -orang yang pernah menjabat sebagai hakim negeri Syam sampai saat itu ialah Mu'awiyah, Abu Dzarr bin Jundab bin Junadah al-Ghiffari, dan Zaid bin Abdullah. Pada tahun ke-33 Hijriah, Abdullah bin Mas'ud bin Abi Sarh menyerbu Habasyah.
Seperti
diketahui, Usman bin Affan mengangkat para kerabatnya dari bani
Umaiyyah menduduki berbagai jabatan. Kebijakan ini mengakibatkan
dipecatnya sejumlah sahabat dari berbagai jabatan mereka dan digantikan
oleh orang yang diutamakannya dari kerabatnya. Kebijakan ini
mengakibatkan rasa tidak senang banyak orang terhadap Usman bin Affan.
Hal inilah yang dijadikan pemicu dan sandaran oleh orang Yahudi yaitu
Abdullah bin Saba' dan teman-temannya untuk membangkitkan fitnah.
Ibnu
Katsir meriwayatkan bahwa penduduk Kufah umumnya melakukan
pemberontakan dan konspirasi terhadap Sa'id ibnul Ash, pemimpin Kufah.
Mereka kemudian mengirim utusan kepada Usman bin Affan guna menggugat
kebijakannya dan alasan pemecatan sejumlah orang dari bani Umayyah.
Dalam pertemuan ini, utusan tersebut berbicara kepada Usman bin
Affan dengan bahasa yang kasar sekali sehingga membuat dadanya sesak.
Beliau lalu memanggil semua pimpinan pasukan untuk dimintai pendapatnya.
Akhirnya,
berkumpullah di hadapannya, Mu'awiyah bin Abu Sufyan (pemimpin negeri
Syam), Amr ibnul Ash (pemimpin negeri Mesir), Abduliah bin Sa'ad bin Abi
Sarh (pemimpin negeri Maghrib), Sa'id ibnul Ash (pemimpin negeri
Kufah), dan Abdullah bin Amir (pemimpin negeri Bashrah). Kepada
mereka, Usman bin Affan meminta pandangan mengenai peristiwa yang
terjadi dan perpecahan yang muncul.... Masing-masing dari mereka
kemudian mengemukakan pendapat dan pandangannya. Setelah mendengar
berbagai pandangan dan mendiskusikannya, akhirnya Usman bin
Affan memutuskan untuk tidak melakukan penggantian para gubernur dan
pembantunya. Kepada masing-masing mereka, Usman bin Affan memerintahkan
agar menjinakkan hati para pemberontak dan pembangkang tersebut dengan
memberi harta dan mengirim mereka ke medan peperangan lain dan pos-pos
perbatasan.
Setelah peristiwa ini, di
Mesir muncul satu kelompok dari anak-anak para sahabat. Mereka
menggerakkan massa untuk menentang Usman bin Affan dan menggugat
sebagian besar tindakannya. Kelompok ini melakukan tindakan tersebut
tentu setelah Abdullah bin Saba' berhasil menyebarkan kerusakan dan
fitnah di Mesir. Ia berhasil menghasut sekitar enam ratus orang untuk
berangkat ke Madinah dengan berkedok melakukan ibadah umrah, namun
sebenarnya mereka bertujuan menyebarkan fitnah dalam masyarakat Madinah.
Tatkala mereka hampir memasuki Madinah, Usman bin Affan mengutus Ali bin Abu Thalib untuk
menemui mereka dan berbicara kepada mereka. Ali bin Abu Thalib kemudian
berangkat menemui mereka di Juhfah. Mereka ini mengagungkan Ali bin Abu
Thalib dengan sangat berlebihan, karena Abdullah bin Saba' telah
berhasil mempermainkan akal pikiran mereka dengan berbagai khurafat dan
penyimpangan. Setelah Ali bin Abu Thalib membantah semua penyimpangan
pemikiran yang sesat itu, mereka menyesali diri seraya berkata, "Orang
inikah yang kalian jadikan sebagai sebab dan dalih untuk memerangi dan
memprotes Khalifah (Usman bin Affan)?" Mereka kemudian kembali dengan
membawa kegagalan.
Ketika
menghadap Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib melaporkan kepulangan
mereka dan mengusulkan agar Usman bin Affan menyampaikan pidato kepada
orang banyak, guna meminta maaf atas tindakannya mengutamakan sebagian
kerabatnya dan bahwa ia telah bertobat dari tindakan tersebut.
Usulan
ini diterima olehnya dan Usman bin Affan kemudian berpidato di hadapan
orang banyak pada hari Jumat. Dalam pidato ini, diantaranya Usman bin
Affan mengatakan, "Ya Allah, aku memohon ampunan kepada-Mu dan aku
bertobat kepada-Mu. Ya Allah, aku adalah orang yang pertama bertobat
dari apa yang telah aku lakukan."
Pernyataan
ini diucapkannya sambil menangis sehingga membuat semua orang ikut
menangis. Usman bin Affan kemudian menegaskan kembali, bahwa ia akan
menghentikan kebijakan yang menyebabkan timbulnya protes tersebut.
Ditegaskannya bahwa ia akan memecat Marwan dan kerabatnya.
Setelah
penegasan tersebut, Marwan bin Hakam menemui Usman bin Affan. Dia
menghamburkan kecaman dan protes kemudian berkata, "Andaikan ucapanmu
itu engkau ucapkan pada waktu Engkau masih sangat kuat, niscaya Aku
adalah orang yang pertama menerima dan mendukungnya, tetapi Engkau
mengucapkannya ketika banjir bah telah mencapai puncak gunung. Demi
Allah, melakukan suatu kesalahan kemudian meminta ampunan dari-Nya
adalah lebih baik daripada tobat karena takut kepada-Nya. Jika suka,
engkau dapat melakukan tobat tanpa menyatakan kesalahan kami."
Marwan
kemudian memberitahukan kepadanya bahwa di balik pintu ada segerombolan
orang. Usman bin Affan menunjuk Marwan untuk berbicara kepada mereka
sesukanya. Marwan lalu berbicara kepada mereka dengan suatu pembicaraan
yang buruk, sehingga merusak apa yang selama ini diperbaiki oleh Usman
bin Affan. Dalam pembicaraannya, Marwan berkata, "Kalian datang untuk
merebut kerajaan dari tangan kami. Keluarlah kalian dari sisi kami. Demi
Allah, jika kalian membangkang kepada kami, niscaya kalian akan
menghadapi kesulitan dan tidak akan menyukai akibatnya."
Setelah
mengetahui hal ini, Ali bin Abu Thalib segera datang menemui Usman bin
Affan dan dengan nada marah, ia berkata, "Mengapa engkau merelakan
Marwan, sementara dia tidak menghendaki kecuali memalingkan Engkau dari
agama dan pikiranmu! Demi Allah, Marwan adalah orang yang tidak layak
dimintai pendapat tentang agama atau dirinya sekalipun. Demi Allah, aku
melihat bahwa dia akan menghadirkan kamu kemudian tidak akan
mengembalikan kamu lagi. Saya tidak akan kembali setelah ini karena
teguran-ku kepadamu."
Setelah Ali bin
Abu Thalib keluar, Na'ilah masuk menemui Usman bin Affan (ia telah
mendengarkan apa yang diucapkan Ali bin Abu Thalib kepada Usman bin
Affan) kemudian berkata, "Aku harus bicara atau diam!" Usman bin
Affan menjawab, "Bicaralah!" Na'ilah berkata, "Aku telah mendengar
ucapan Ali bin Abu Thalib bahwa dia tidak akan kembali lagi padamu,
karena Engkau telah menaati Marwan dalam segala apa yang
dikehendakinya," Usman bin Affan berkata, "Berilah pendapatmu kepadaku."
Na'ilah memberikan pendapatnya,"Bertakwalah kepada Allah semata, tiada
sekutu bagi-Nya. Ikutilah sunnah kedua sahabatmu yang terdahulu (Abu Bakar As Siddiq dan Umar Bin Khattab),
sebab jika engkau menaati Marwan, niscaya dia akan membunuhmu. Marwan
adalah orang yang tidak memiliki harga di sisi Allah, apalagi rasa takut
dan cinta. Utuslah seseorang menemui Ali bin Abu Thalib guna meminta
pendapatnya, karena dia memiliki kekerabatan denganmu dan dia tidak
layak ditentang."
Usman bin Affan
kemudian mengutus seseorang kepada Ali bin Abu Thalib, tetapi Dia
menolak datang. Ali bin Abu Thalib berkata, "Aku telah memberitahukan
kepadanya bahwa aku tidak akan kembali lagi. Sikap ini merupakan
permulaan krisis yang menyulut api fitnah dan memberikan peluang kepada
para tukang fitnah, untuk memperbanyak kayu bakarnya dan mencapai
tujuan-tujuan busuk yang mereka inginkan.
Usman
bin Affan menjabat sebagai khalifah selama dua belas tahun. Tidak ada
sesuatu yang dapat dijadikan celah untuk mendendamnya. Beliau bahkan
lebih dicintai oleh orang-orang Quraisy umumnya ketimbang Umar bin
Khattab, karena Umar bin Khattab bersikap keras terhadap mereka,
sedangkan Usman bin Affan bersikap lemah lembut dan selalu menjalin
hubungan dengan mereka.
Akan tetapi,
masyarakat mulai berubah sikap terhadapnya, tatkala ia mengutamakan
kerabatnya dalam pemerintahan, sebagaimana telah kami sebutkan.
Kebijakan ini dilakukan Usman bin Affan atas pertimbangan silaturrahim
yang merupakan salah satu perintah Allah. Akan tetapi, kebijakan ini
pada akhirnya menjadi sebab pembunuhannya.
Ibnu
Asakir meriwayatkan dari az-Zuhri, ia berkata, "Aku pernah berkata
kepada Sa'id bin Musayyab, 'Ceritakanlah kepadaku tentang pembunuhan
Usman! Bagaimana hal ini sampai terjadi!' Ibnul Musayyab berkata, 'Usman
dibunuh secara aniaya. Pembunuhnya adalah kejam dan pengkhianatnya
adalah orang yang memerlukan ampunan. Ibnul Musayyab kemudian
menceritakan kepada az-Zuhri tentang sebab pembunuhannya dan bagaimana
hal itu dilakukan. Kami sebutkan disini secara singkat.
Para
penduduk Mesir datang mengadukan Ibnu Abi Sarh. Setelah pengaduan
ini, Usman bin Affan menulis surat kepadanya yang berisikan nasihat dan
peringatan terhadapnya. Akan tetapi, Abu Sarh tidak mau menerima
peringatan Usman bin Affan, bahkan mengambil tindakan keras terhadap
orang yang mengadukannya.
Selanjutnya,
para tokoh sahabat, seperti Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah,
dan Aisyah mengusulkan agar Usman bin Affan memecat Ibnu Abi Sarh dan
menggantinya dengan orang lain. Usman bin Affan lalu berkata kepada
mereka, "Pilihlah orang yang dapat menggantikannya." Mereka mengusulkan
Muhammad bin Abu Bakar. Usman bin Affan kemudian menginstruksikan hal
tersebut dan mengangkatnya secara resmi. Surat keputusan ini kemudian
dibawa oleh sejumlah sahabat ke Mesir. Baru tiga hari perjalanan dari
Madinah, tiba-tiba mereka bertemu dengan seorang pemuda hitam
berkendaraan unta yang berjalan mundur maju.
Para
sahabat Rasulullah itu kemudian menghentikannya seraya berkata,
"Mengapa kamu ini! Kamu terlihat seperti orang yang lari atau mencari
sesuatu!" Ia menjawab, "Saya adalah pembantu Amirul Mukminin yang diutus
untuk menemui Gubernur Mesir." Ketika ditanya, "Utusan siapa kamu ini!"
Dengan gagap dan ragu-ragu, ia kadang-kadang menjawab, "Saya pembantu
Amirul Mukminin," dan kadang- kadang pula ia menjawab,"Saya pembantu
Marwan." Mereka kemudian mengeluarkan sebuah surat dari barang
bawaannya. Di hadapan dan disaksikan oleh para sahabat dari Anshar dan
Muhajirin tersebut, Muhammad bin Abu Bakar membuka surat tersebut yang
ternyata berisi, "Jika Muhammad beserta si fulan dan si fulan datang
kepadamu, bunuhlah mereka dan batalkanlah suratnya. Dan tetaplah engkau
melakukan tugasmu sampai engkau menerima keputusanku. Aku menahan orang
yang akan datang kepadaku mengadukan dirimu."
Akhirnya,
para sahabat itu kembali ke Madinah dengan membawa surat tersebut.
Mereka kemudian mengumpulkan para tokoh sahabat dan memberitahukan ihwal
surat dan kisah utusan tersebut.
Peristiwa ini membuat seluruh penduduk Madinah gempar dan benci
terhadap Usman bin Affan. Setelah melihat hal ini, Ali bin Abu
Thalib segera memanggil beberapa tokoh sahabat, antara lain Thalhah bin
Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Abu Waqqash,
dan Ammar. Bersama mereka, Ali bin Abu Thalib dengan membawa surat,
pembantu dan unta tersebut, masuk menemui Usman bin Affan. Ali bin Abu
Thalib bertanya kepada Usman bin Affan, "Apakah pemuda ini
pembantumu?" Usman bin Affan menjawab "Ya." Ali bin Abu Thalib bertanya
lagi, "Apakah unta ini untamu?" Usman bin Affan menjawab "Ya." Ali bin
Abu Thalib bertanya lagi, "Apakah kamu pernah menulis surat ini?" Usman
bin Affan menjawab,"Tidak." Usman bin Affan kemudian bersumpah dengan
nama Allah, "Aku tidak pernah menulis surat tersebut, tidak pernah
memerintahkan penulisan surat dan tidak mengetahui ihwal surat
tersebut." Ali bin Abu Thalib bertanya lagi, "Apakah stempel ini,
stempelmu?" Usman bin Affan menjawab, "Ya." Ali bin Abu Thalib bertanya
lagi "Bagaimana pembantumu ini bisa keluar dengan menunggang untamu dan
membawa surat yang distempel, dengan stempelmu, sedangkan Engkau tidak
mengetahuinya?" Usman bin Affan kemudian bersumpah dengan nama Allah,
"Aku tidak pernah menulis surat ini, tidak pernah memerintahkannya dan
tidak pernah pula mengutus pembantu ini ke Mesir."
Mereka
kemudian memeriksa tulisan surat tersebut dan mengetahui bahwa surat
itu ditulis oleh Marwan. Mereka lalu meminta kepada Usman bin Affan agar
menyerahkan Marwan kepada mereka, tetapi Usman bin Affan tidak bersedia
melakukannya, padahal Marwan saat itu berada di dalam rumahnya.
Akhirnya, orang-orang keluar dari rumah Usman bin Affan dengan perasaan
marah. Mereka mengetahui bahwa Usman bin Affan tidak berdusta dalam
bersumpah, tetapi mereka marah karena dia tidak bersedia menyerahkan
Marwan kepada mereka.
Setelah itu,
tersiarlah berita tersebut di seluruh Kota Madinah, sehingga sebagian
masyarakat mengepung rumah Usman bin Affan dan tidak memberikan air
kepadanya. Setelah Usman bin Affan dan keluarganya merasakan kepayahan
akibat terputusnya air, ia menemui mereka seraya berkata, "Adakah
seseorang yang sudi memberi tahu Ali bin Abu Thalib agar memberi air
kepada kami ?" Setelah mendengar berita ini, Ali bin Abu Thalib segera
mengirim tiga qirbah air. Kiriman air ini pun sampai kepada Usman bin
Affan melalui cara yang sulit sekali.
Pada
saat itu, Ali bin Abu Thalib mendengar desas-desus tentang adanya orang
yang ingin membunuh Usman bin Affan, lalu ia berkata "Yang kita
inginkan darinya adalah Marwan, bukan pembunuhan Usman bin Affan." Ali
bin Abu Thalib kemudian berkata kepada kedua anaknya, Hasan dan Husain,
"Pergilah dengan membawa pedang kalian untuk menjaga pintu rumah Usman.
Jangan biarkan seorang pun masuk kepadanya." Hal ini juga dilakukan oleh
sejumlah sahabat Rasulullah saw demi menjaga Usman bin Affan. Ketika
para pengacau menyerbu pintu rumah Usman bin Affan ingin masuk dan
membunuhnya, mereka dihentikan oleh Hasan dan Husain serta sebagian
sahabat.
Sejak itu, mereka mengepung
rumah Usman bin Affan lebih ketat dan secara sembunyi-sembunyi berhasil
masuk dari atap rumah. Mereka berhasil menebaskan pedang sehingga
Khalifah Usman bin Affan terbunuh. Ketika mendengar berita ini, Ali bin
Abu Thalib datang dengan wajah marah, seraya berkata kepada dua orang
anaknya, "Bagaimana Amirul Mukminin bisa dibunuh, sedangkan kalian
berdiri menjaga pintu?" Demikianlah, pembunuhan Usman bin
Affan merupakan pintu dari mata rantai fitnah yang terus membentang
tanpa akhir.
Pertama,
diantara keutamaan dan keistimewaan yang dapat dicatat pada periode
pemerintahan Usman bin Affan ialah banyaknya penaklukan dan perluasan.
Pada periode ini, seluruh Khurasan berhasil ditaklukkan. Demikian pula
Afrika sampai Andalusia. Disamping itu, tercatat pula sejumlah prestasi
mulia dan agung yang pernah dilakukan Usman bin Affan, seperti
menyatukan orang dalam bacaan dan tulisan al-Qur'an yang tepercaya
setelah berkembangnya berbagai bacaan yang dikhawatirkan dapat
membingungkan orang. Juga seperti prestasinya memperluas Masjid Nabawi
di Madinah al-Munawwarah.
Tidaklah
merusak kemuliaan Usman bin Affan jika dalam berbagai penaklukannya ia
mempergunakan Abdullah bin Sa'id bin Abi Sarh dan orang-orang
semisalnya, karena Islam menghapuskan semua dosa sebelumnya. Barangkali
Ibnu Sarh dengan amal-amalnya yang mulia ini telah menghapuskan segala
yang pernah dia lakukan sebelumnya. Bahkan seperti diketahui, ia tetap
di jalan lurus setelah itu dan termasuk orang yang tetap baik agamanya.
Kedua,
betapapun keras kritik yang dilontarkan kepada Usman bin Affan karena
kebijakannya dalam memilih para gubemur dan pembantunya dari kaum
kerabatnya (bani Umayyah), kita harus menyadari bahwa kebijakan tersebut
merupakan ijtihad pribadinya. Usman bin Affan bahkan telah
mempertahankan pendapat tersebut di hadapan sejumlah besar para sahabat.
Bagaimanapun sikap kita terhadap pendapat dan pembelaan tersebut,
sewaktu mengkritik, kita tidak boleh melanggar adab dalam melontarkan
analisis atau pendapat. Juga kesalahan yang dilakukannya tersebut -jika
hal itu kita anggap sebagai suatu kesalahan- jangan sampai melupakan
kita pada kedudukannya yang mulia di sisi Rasulullah Saw, keutamaannya
sebagai generasi pertama dalam Islam dan sabda Rasulullah Saw kepadanya
pada Perang Tabuk,"Tidaklah akan membahayakan Usman apa yang dilakukannya setelah hari ini."
Hendaknya
kita pun menyadari bahwa pembicaraan dan sanggahan para sahabat,
terhadap kebijakannya saat itu, tidak sama dengan kritik dan gugatan
yang kita lakukan sekarang terhadap masalah yang sama.
Sanggahan
para sahabat terhadapnya, pada saat itu, merupakan pencegahan bagi
suatu permasalahan yang ada dan mungkin dapat diubah atau diperbaiki.
Segala pembicaraan, disaat itu, sekalipun bermotifasikan kritik dan
menyalahkan, merupakan tindakan positif dan bermanfaat. Sementara itu,
pembicaraan kita pada hari ini, setelah masalah tersebut menjadi suatu
peristiwa sejarah, hanyalah merupakan tindakan kurang ajar terhadap para
sahabat yang telah diberikan pujian oleh Rasulullah Saw. Beliau
melarang kita bersikap tidak sopan kepada mereka, terutama Khilafah
Rasyidah.
Bagi siapa saja yang menginginkan amanah ilmiah dalam mengemukakan peristiwa ini, cukuplah dengan berpegang teguh kepada penjelasan yang dikemukakan oleh para penulis dan ahli sejarah tepercaya, seperti Thabari, Ibnu Katsir dan Ibnul Atsir.
Bagi siapa saja yang menginginkan amanah ilmiah dalam mengemukakan peristiwa ini, cukuplah dengan berpegang teguh kepada penjelasan yang dikemukakan oleh para penulis dan ahli sejarah tepercaya, seperti Thabari, Ibnu Katsir dan Ibnul Atsir.
Ketiga,
bersamaan dengan munculnya benih-benih fitnah pada akhir-akhir
pemerintahan Usman bin Affan, muncul pula nama Abdullah bin Saba' di
pentas sejarah. Peranan Ibnu Saba' sangat menonjol dalam mengobarkan api
fitnah ini. Abdullah bin Saba' adalah seorang Yahudi berasal dari
Yaman. Ia datang ke Mesir pada masa pemerintahan Usman bin Affan. Ia
menghasut orang untuk membangkang pada Usman bin Affan dengan dalih
mencintai Ali bin Abu Thalib dan keluarga (ahlul bait) Nabi Saw.
Diantaranya, ia mengatakan kepada orang-orang, "Tidakkah Muhammad Saw
lebih baik dari Isa As di sisi Allah? Jika demikian halnya, Muhammad Saw
lebih berhak kembali kepada manusia daripada Isa As. Akan tetapi,
Muhammad Saw akan kembali kepada mereka dalam diri anak pamannya, Ali
bin Abu Thalib, yang merupakan orang terdekat kepadanya."
Dengan
khurafat ini, Abdullah bin Saba' berhasil menipu masyarakat Mesir,
padahal sebelumnya ia gagal mendapatkan pengikut di Yaman. Orang-orang
yang tertipu oleh perkataannya inilah yang berangkat ke Madinah guna
memberontak kepada Usman bin Affan. Akan tetapi, mereka berhasil dihalau
oleh Ali bin Abu Thalib, sebagaimana telah Kita ketahui.
Dari
sini, kita mengetahui bahwa kelahiran perpecahan umat Islam menjadi dua
kubu: Sunni dan Syi'i, dimulai pada periode ini. Perpecahan ini
sepenuhnya merupakan buah tangan Abdullah bin Saba'. Belum lagi
penyiksaan dan kekejaman yang dialami oleh Ahlul Bait atau Syi'ah di
tangan pemerintahan Umawiyah dan lainnya. Yang penting, bagaimanapun
kedua peristiwa ini telah masuk ke dalam sejarah, tetapi kita tidak
boleh melupakan realitas lainnya.
Keempat,
sekali lagi, kita harus mendapatkan kejelasan tentang hakikat hubungan
yang berlangsung antara Usman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib selama
periode khilafah yang ketiga ini, juga hakikat sikap yang diambil Ali
bin Abu Thalib terhadap Usman bin Affan. Seperti telah kita ketahui
bahwa Ali bin Abu Thalib segera membaiat Usman bin Affan sebagai
khalifah, bahkan menurut kebanyakan ahli sejarah, sebagaimana dikatakan
oleh Ibnu Katsir, bahwa Ali bin Abu Thalib adalah orang yang pertama
membaiat Usman bin Affan. Kemudian kita ketahui bagaimana Ali bin Abu
Thalib mengatakan kepada Usman bin Affan, ketika ia mendengar
segerombolan orang yang dikerahkan oleh Abdullah bin Saba' ke Madinah
untuk menggerakkan orang menentangnya, "Aku bereskan kejahatan mereka!"
Ali bin Abu Thalib kemudian berangkat dan menemui mereka di Juhfah
sampai berhasil menghalau mereka kembali ke Mesir seraya
mengatakan,"Inikah orang yang kalian jadikan sebagai sebab dan dalih
untuk memerangi dan memprotes khalifah (Usman bin Affan)?" Kita telah
mengetahui bagaimana Ali bin Abu Thalib dengan penuh keikhlasan,
kecintaan dan kemauan yang jujur memberikan nasihat kepadanya.
Sebagaimana kita tahu pula Ali bin Abu Thalib membelanya sampai akhir
kehidupannya; bagaimana ia memobilisasi kedua putranya, Hasan dan
Husain, untuk menjaga Usman bin Affan dari ulah orang-orang yang
mengepungnya?
Dengan demikian, Ali
bin Abu Thalib merupakan pendukung Usman bin Affan yang terbaik selama
khilafahnya, disamping merupakan pembela terbaiknya tatkala menghadapi
cobaan berat. Ia bersikap tegas dan keras dalam memberikan nasihat
kepadanya dibelakang hari, tidak lain dan tidak bukan, hanyalah karena
cinta dan ghirah kepadanya.
Hendaklah kita memahami hal ini dengan baik agar kita juga mengetahui
bahwa orang besar seperti Sayyidina Ali bin Abu Thalib patut diteladani
oleh setiap orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Bukti rasa
cinta hanyalah berupa "shidqul ittiba" (mengikuti secara jujur) dan istiqamah
(terus menerus) dalam meneladani. Marilah kita jadikan suri
tauladan-nya sebagai teladan yang terbaik bagi kita dan bukti paling
nyata yang mengungkapkan cinta sejati kepada beliau.
Umar Bin Khattab
"Ya Allah...buatlah Islam ini kuat dengan masuknya salah satu dari kedua orang ini. Amr bin Hisham atau Umar bin Khattab."
Salah satu dari doa Rasulullah pada saat Islam masih dalam tahap awal
penyebaran dan masih lemah. Doa itu segera dikabulkan oleh Allah. Allah
memilih Umar bin Khattab sebagai salah satu pilar kekuatan islam,
sedangkan Amr bin Hisham meninggal sebagai Abu Jahal.
Umar bin Khattab
dilahirkan 12 tahun setelah kelahiran Rasulullah saw. Ayahnya bernama
Khattab dan ibunya bernama Khatmah. Perawakannya tinggi besar dan tegap
dengan otot-otot yang menonjol dari kaki dan tangannya, jenggot yang
lebat dan berwajah tampan, serta warna kulitnya coklat kemerah-merahan.
Beliau
dibesarkan di dalam lingkungan Bani Adi, salah satu kaum dari
suku Quraisy. Beliau merupakan khalifah kedua didalam islam setelah Abu Bakar As Siddiq.
Nasabnya
adalah .Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin
Abdullah bin Qarth bin Razah bin 'Adiy bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib.
Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada kakeknya Ka'ab. Antara
beliau dengan Nabi selisih 8 kakek. lbu beliau bernama Hantamah binti
Hasyim bin al-Mughirah al-Makhzumiyah. Rasulullah memberi beliau
"kun-yah" Abu Hafsh (bapak Hafsh) karena Hafshah adalah anaknya yang
paling tua dan memberi "laqab" (julukan) Al Faruq.
Umar bin Khattab masuk Islam
Sebelum masuk
Islam, Umar bin Khattab dikenal sebagai seorang yang keras
permusuhannya dengan kaum Muslimin, bertaklid kepada ajaran nenek
moyangnya dan melakukan perbuatan-perbuatan jelek yang umumnya dilakukan
kaum jahiliyah, namun tetap bisa menjaga harga diri. Beliau masuk Islam
pada bulan Dzulhijah tahun ke-6 kenabian, tiga hari setelah Hamzah bin Abdul Muthalib masuk Islam.
Ringkas
cerita, pada suatu malam beliau datang ke Masjidil Haram secara
sembunyi-sembunyi untuk mendengarkan bacaan shalat Nabi. Waktu itu Nabi
membaca surat Al Haqqah. Umar bin Khattab kagum dengan susunan
kalimatnya lantas berkata pada dirinya sendiri- "Demi Allah, ini adalah
syair sebagaimana yang dikatakan kaum Quraisy." Kemudian beliau
mendengar Rasulullah membaca ayat 40-41 (yang menyatakan bahwa Al Qur'an
bukan syair), lantas beliau berkata, "Kalau begitu berarti dia itu
dukun." Kemudian beliau mendengar bacaan Nabi ayat 42, (Yang menyatakan
bahwa Al-Qur'an bukan perkataan dukun.) akhirnya beliau berkata, "Telah
terbetik lslam di dalam hatiku." Akan tetapi karena kuatnya adat
jahiliyah, fanatik buta, pengagungan terhadap agama nenek moyang, maka
beliau tetap memusuhi Islam.
Kemudian
pada suatu hari, beliau keluar dengan menghunus pedangnya bermaksud
membunuh Nabi. Dalam perjalanan, beliau bertemu dengan Nu`aim bin
Abdullah al 'Adawi, seorang laki-laki dari Bani Zuhrah. Lekaki itu
berkata kepada Umar bin Khattab, "Mau kemana wahai Umar?" Umar bin
Khattab menjawab, "Aku ingin membunuh Muhammad." Lelaki tadi berkata,
"Bagaimana kamu akan aman dari Bani Hasyim dan Bani Zuhrah, kalau kamu
membunuh Muhammad?" Maka Umar menjawab, "Tidaklah aku melihatmu
melainkan kamu telah meninggalkan agama nenek moyangmu." Tetapi lelaki
tadi menimpali, "Maukah aku tunjukkan yang lebih mencengangkanmu, hai
Umar? Sesuugguhnya adik perampuanmu dan iparmu telah meninggalkan agama
yang kamu yakini."
Kemudian dia
bergegas mendatangi adiknya yang sedang belajar Al Qur'an, surat Thaha
kepada Khabab bin al Arat. Tatkala mendengar Umar bin Khattab datang,
maka Khabab bersembunyi. Umar bin Khattab masuk rumahnya dan menanyakan
suara yang didengarnya. Kemudian adik perempuan Umar bin Khattab dan
suaminya berkata, "Kami tidak sedang membicarakan apa-apa." Umar bin
Khattab menimpali, "Sepertinya kalian telah keluar dari agama nenek
moyang kalian." Iparnya menjawab, "wahai Umar, apa pendapatmu jika
kebenaran itu bukan berada pada agamamu?" Mendengar ungkapan tersebut
Umar bin Khattab memukulnya hingga terluka dan berdarah, karena tetap
saja saudaranya itu mempertahankan agama Islam yang dianutnya, Umar bin
Khattab berputus asa dan menyesal melihat darah mengalir pada iparnya.
Umar bin
Khattab berkata, 'Berikan kitab yang ada pada kalian kepadaku, aku
ingin membacanya.' Maka adik perempuannya berkata," Kamu itu kotor.
Tidak boleh menyentuh kitab itu kecuali orang yang bersuci. Mandilah
terlebih dahulu!" lantas Umar bin Khattab mandi dan mengambil kitab yang
ada pada adik perempuannya. Ketika dia membaca surat Thaha, dia memuji
dan muliakan isinya, kemudian minta ditunjukkan keberadaan Rasulullah.
Tatkala
Khabab mendengar perkataan Umar bin Khattab, dia muncul dari
persembunyiannya dan berkata, "Aku akan beri kabar gembira kepadamu,
wahai Umar! Aku berharap engkau adalah orang yang didoakan Rasulullah
pada malam Kamis, 'Ya Allah, muliakan Islam.dengan Umar bin Khatthab atau Abu Jahl (Amru) bin Hisyam.'
Waktu itu, Rasulullah berada di sebuah rumah di daerah Shafa." Umar bin
Khattab mengambil pedangnya dan menuju rumah tersebut, kemudian
mengetuk pintunya. Ketika ada salah seorang melihat Umar bin
Khattab datang dengan pedang terhunus dari celah pintu rumahnya,
dikabarkannya kepada Rasulullah. Lantas mereka berkumpul. Hamzah bin
Abdul Muthalib bertanya, "Ada apa kalian?" Mereka menjawab, 'Umar
(datang)!" Hamzah bin Abdul Muthalib berkata, "Bukalah pintunya. Kalau
dia menginginkan kebaikan, maka kita akan menerimanya, tetapi kalau
menginginkan kejelekan, maka kita akan membunuhnya dengan pedangnya."
Kemudian Nabi menemui Umar bin Khattab dan berkata kepadanya. "... Ya
Allah, ini adalah Umar bin Khattab. Ya Allah, muliakan Islam dengan Umar
bin Khattab." Dan dalam riwayat lain: "Ya Allah, kuatkanlah Islam
dengan Umar."
Seketika itu pula
Umar bin Khattab bersyahadat, dan orang-orang yang berada di rumah
tersebut bertakbir dengan keras. Menurut pengakuannya dia adalah orang
yang ke-40 masuk Islam. Abdullah bin Mas'ud berkomentar, "Kami
senantiasa berada dalam kejayaan semenjak Umar bin Khattab masuk Islam."
Kepemimpinan Umar bin Khattab
Keislaman
beliau telah memberikan andil besar bagi perkembangan dan kejayaan
Islam. Beliau adalah pemimpin yang adil, bijaksana, tegas, disegani, dan
selalu memperhatikan urusan kaum muslimin. Pemimpin yang menegakkan
ketauhidan dan keimanan, merobohkan kesyirikan dan kekufuran,
menghidupkan sunnah dan mematikan bid'ah. Beliau adalah orang yang
paling baik dan paling berilmu tentang al-Kitab dan as-Sunnah setelah
Abu Bakar As Siddiq.
Kepemimpinan
Umar bin Khattab tak seorangpun yang dapat meragukannya. Seorang tokoh
besar setelah Rasulullah SAW dan Abu Bakar As Siddiq. Pada masa
kepemimpinannya kekuasaan islam bertambah luas. Beliau berhasil
menaklukkan Persia, Mesir, Syam, Irak, Burqah, Tripoli bagian barat,
Azerbaijan, Jurjan, Basrah, Kufah dan Kairo.
Dalam
masa kepemimpinan sepuluh tahun Umar bin Khattab itulah,
penaklukan-penaklukan penting dilakukan Islam. Tak lama sesudah Umar bin
Khattab memegang tampuk kekuasaan sebagai khalifah, pasukan Islam
menduduki Suriah dan Palestina, yang kala itu menjadi bagian Kekaisaran
Byzantium. Dalam pertempuran Yarmuk (636), pasukan Islam berhasil
memukul habis kekuatan Byzantium. Damaskus jatuh pada tahun itu juga,
dan Darussalam menyerah dua tahun kemudian. Menjelang tahun 641, pasukan
Islam telah menguasai seluruh Palestina dan Suriah, dan terus menerjang
maju ke daerah yang kini bernama Turki. Tahun 639, pasukan Islam
menyerbu Mesir yang juga saat itu di bawah kekuasaan Byzantium. Dalam
tempo tiga tahun, penaklukan Mesir diselesaikan dengan sempurna.
Penyerangan
Islam terhadap Irak yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran
Persia telah mulai bahkan sebelum Umar bin Khattab naik jadi khalifah.
Kunci kemenangan Islam terletak pada pertempuran Qadisiya tahun 637,
terjadi di masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Menjelang tahun 641,
seseluruh Irak sudah berada di bawah pengawasan Islam. Dan bukan hanya
itu, pasukan Islam bahkan menyerbu langsung Persia dan dalam pertempuran
Nehavend (642), mereka secara menentukan mengalahkan sisa terakhir
kekuatan Persia. Menjelang wafatnya Umar bin Khattab di tahun 644,
sebagian besar daerah barat Iran sudah terkuasai sepenuhnya. Gerakan ini
tidak berhenti tatkala Umar bin Khattab wafat. Di bagian timur mereka
dengan cepat menaklukkan Persia dan bagian barat mereka mendesak terus
dengan pasukan menyeberang Afrika Utara.
Selain
pemberani, Umar bin Khattab juga seorang yang cerdas. Dalam masalah
ilmu diriwayatkan oleh Al Hakim dan Thabrani dari Ibnu Mas’ud berkata,
”Seandainya ilmu Umar bin Khattab diletakkan pada tepi timbangan yang
satu dan ilmu seluruh penghuni bumi diletakkan pada tepi timbangan yang
lain, niscaya ilmu Umar bin Khattab lebih berat dibandingkan ilmu
mereka. Mayoritas sahabatpun berpendapat bahwa Umar bin Khattab
menguasai 9 dari 10 ilmu. Dengan kecerdasannya beliau menelurkan
konsep-konsep baru, seperti menghimpun Al Qur’an dalam bentuk mushaf,
menetapkan tahun hijriyah sebagai kalender umat Islam, membentuk kas
negara (Baitul Maal), menyatukan orang-orang yang melakukan sholat sunah
tarawih dengan satu imam, menciptakan lembaga peradilan, membentuk
lembaga perkantoran, membangun balai pengobatan, membangun tempat
penginapan, memanfaatkan kapal laut untuk perdagangan, menetapkan
hukuman cambuk bagi peminum "khamr" (minuman keras) sebanyak 80 kali
cambuk, mencetak mata uang dirham, audit bagi para pejabat serta pegawai
dan juga konsep yang lainnya.
Namun
dengan begitu beliau tidaklah menjadi congkak dan tinggi hati. Justru
beliau seorang pemimpin yang zuhud lagi wara’. Beliau berusaha untuk
mengetahui dan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Dalam satu riwayat Qatadah
berkata, ”Pada suatu hari Umar bin Khattab memakai jubah yang terbuat
dari bulu domba yang sebagiannnya dipenuhi dengan tambalan dari kulit,
padahal waktu itu beliau adalah seorang khalifah, sambil memikul jagung
ia lantas berjalan mendatangi pasar untuk menjamu orang-orang.”
Abdullah, puteranya berkata, ”Umar bin Khattab berkata, ”Seandainya ada
anak kambing yang mati di tepian sungai Eufrat, maka umar merasa takut
diminta pertanggung jawaban oleh Allah SWT.”
Beliaulah
yang lebih dahulu lapar dan yang paling terakhir kenyang, Beliau
berjanji tidak akan makan minyak samin dan daging hingga seluruh kaum
muslimin kenyang memakannya…
Tidak
diragukan lagi, khalifah Umar bin Khattab adalah seorang pemimpin yang
arif, bijaksana dan adil dalam mengendalikan roda pemerintahan. Bahkan
ia rela keluarganya hidup dalam serba kekurangan demi menjaga
kepercayaan masyarakat kepadanya tentang pengelolaan kekayaan negara.
Bahkan Umar bin Khattab sering terlambat salat Jum'at hanya menunggu
bajunya kering, karena dia hanya mempunyai dua baju.
Kebijaksanaan
dan keadilan Umar bin Khattab ini dilandasi oleh kekuatirannya terhadap
rasa tanggung jawabnya kepada Allah SWT. Sehingga jauh-jauh hari
Umar bin Khattab sudah mempersiapkan penggantinya jika kelak dia wafat.
Sebelum wafat, Umar berwasiat agar urusan khilafah dan pimpinan
pemerintahan, dimusyawarahkan oleh enam orang yang telah mendapat ridha
Nabi SAW. Mereka adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidilah, Zubair binl Awwam, Sa'ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf.
Umar menolak menetapkan salah seorang dari mereka, dengan berkata, aku
tidak mau bertanggung jawab selagi hidup sesudah mati. Kalau AIlah
menghendaki kebaikan bagi kalian, maka Allah akan melahirkannya atas
kebaikan mereka (keenam orang itu) sebagaimana telah ditimbulkan
kebaikan bagi kamu oleh Nabimu.
Wafatnya Umar bin Khattab
Pada
hari Rabu bulan Dzulhijah tahun 23 H Umar Bin Kattab wafat, Beliau
ditikam ketika sedang melakukan Shalat Subuh oleh seorang Majusi yang
bernama Abu Lu’luah, budak milik al-Mughirah bin Syu’bah diduga ia
mendapat perintah dari kalangan Majusi. Umar bin Khattab dimakamkan di
samping Nabi saw dan Abu Bakar as Siddiq, beliau wafat dalam usia 63
tahun.
Abu Bakar As Siddiq
Abu Bakar As Siddiq
ayah dari Aisyah istri Nabi Muhammad SAW. Namanya yang sebenarnya adalah
Abdul Ka'bah (artinya 'hamba Ka'bah'), yang kemudian diubah oleh
Rasulullah Saw menjadi Abdullah (artinya 'hamba Allah'). Abu Bakar As
Siddiq atau Abdullah bin Abi Quhafah (Usman) bin Amir bin Amru bin Ka’ab
bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihr
al-Quraisy at-Taimi. Bertemu nasabnya dengan Nabi saw kakeknya Murrah
bin Ka’ab bin Lu’ai, kakek yang keenam. Dan ibunya, Ummul-Khair,
sebenarnya bernama Salma binti Sakhr bin Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin
Taim. Nabi Muhammad Saw juga memberinya gelar As Siddiq (artinya 'yang
berkata benar'), sehingga ia lebih dikenal dengan nama Abu Bakar as-Siddiq.
Abu Bakar As
Siddiq tumbuh dan besar di Mekah dan tidak pernah keluar dari Mekah
kecuali untuk tujuan dagang dan bisnis. Beliau memiliki harta kekayaan
yang sangat banyak dan kepribadian yang sangat menarik, memiliki
kebaikan yang sangat banyak, dan sering melakukan perbuatan-perbuatan
yang terpuji. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Dughunnah,
sesungguhnya engkau selalu menyambung tali kasih dan keluarga, bicaramu
selalu benar, dan kau menanggung banyak kesulitan, kau bantu orang-orang
yang menderita dan kau hormati tamu.
An-Nawawi
berkata: Abu Bakar As Siddiq termasuk tokoh Quraisy dimasa Jahiliyah,
orang yang selalu dimintai nasehat dan pertimbangannya, sangat dicintai
dikalangan mereka, sangat mengetahui kode etik dikalangan mereka.
Tatkala, Islam datang Abu Bakar As Siddiq mengedepankan Islam atas yang
lain, dan beliau masuk Islam dengan sempurna.
Zubair
bin Bakkar bin Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ma’ruf bin Kharbudz dia
berkata: Sesungguhnya Abu Bakar As Siddiq adalah salah satu dari 10
orang Quraisy yang kejayaannya dimasa Jahiliyah bersambung hingga zaman
Islam. Abu Bakar As Siddiq mendapat tugas untuk melaksanakan diyat
(tebusan atas darah kematian) dan penarikan hutang. Ini terjadi karena
orang-orang Quraisy tidak memiliki raja dimana mereka bisa mengembalikan
semua perkara itu kepada raja. Pada setiap kabilah dikalangan Quraisy
saat itu, ada satu kekuasaan umum yang memiliki kepala suku dan kabilah
sendiri.
Istri dan Anak Abu bakar
Istri dan Anak Abu bakar
Abu
Bakar pernah menikahi Qutailah binti Abdul Uzza bin Abd bin As’ad pada
masa jahiliyyah dan dari pernikahan tersebut lahirlah Abdullah dan
Asma’.
Beliau juga menikah dengan
Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Zuhal bin Dahman dari Kinanah,
dari pernikahan tersebut lahirlah Abdurrahman dan ‘Aisyah.
Beliau
juga menikah dengan Asma’ binti Umais bin ma’add bin Taim
al-Khatts’amiyyah, dan sebelumnya Asma’ diperistri oleh Ja’far bin Abi
Thalib. Dari hasil pernikahannya ini lahirlah bin Abu Bakar, dan
kelahiran tersebut terjadi pada waktu haji Wada’ di Dzul Hulaifah.
Beliau juga menikah dengan Habibah binti Kharijah bin Zaid bin Zuhair dari Bani al-Haris bin al-Khazraj.
Abu
Bakar pernah singgah di rumah Kharijah ketika beliau datang ke Madinah
dan kemudian mempersunting putrinya, dan beliau masih terus berdiam
dengannya di suatu tempat yang disebut dengan as-Sunuh hingga
Rasullullah saw wafat dan beliau kemudian diangkat menjadi khalifah
sepeninggal Rasulullah saw. Dari pernikahan tersebut lahirlah Ummu
Khultsum.
Orang yang bersih dimasa Jahiliyah
Orang yang bersih dimasa Jahiliyah
Ibnu
Asakir meriwayatkan dengan sanadnya yang shahih dari Aisyah, dia
berkata: demi Allah, Abu Bakar As Siddiq tidak pernah melantunkan satu
syairpun di masa Jahiliyah dan tidak pula dimasa Islam. Abu Bakar As
Siddiq dan Utsman bin Affan tidak pernah minum minuman keras di zaman
Jahiliyah.
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Abdullah bin Zubair, dia berkata, Abu Bakar As Siddiq sama sekali tidak pernah mengucapkan syair.
Ibnu
Asakir meriwayatkan dari Abu Al-Aliyyah Ar-rayahi, dia berkata:
Dikatakan kepada Abu Bakar As Siddiq ditengah sekumpulan sahabat
Rasulullah: Apakah kamu pernah meminum minuman keras di zaman Jahiliyah?
Beliau berkata, ”Saya berlindung kepada Allah dari perbuatan itu!”
Sifat Abu Bakar As Siddig
Sifat Abu Bakar As Siddig
Ibnu
Saad meriwayatkan dari Aisyah bahwa seorang laki-laki berkata
kepadanya: Coba sebutkan kepada saya gambaran tentang Abu Bakar As
Siddiq! Kata Aisyah: dia adalah laki-laki kulit putih, kurus, tidak
terlalu lebar bentuk tubuhnya,sedikit bungkuk, tidak bisa untuk menahan
pakaiannya turun dari pinggangnya, tulang-tulang wajahnya menonjol, dan
pangkal jemarinya datar.
Ibnu Asakir
meriwayatkan dari Aisyah, bahwa Abu Bakar As Siddiq mewarnai rambutnya
dengan 'daun pacar' dan katam (nama jenis tumbuhan). Dia juga
meriwayatkan dari Anas, dia berkata, Rasulullah datang ke Madinah, dan
tidak ada salah seorang dari para sahabatnya yang beruban kecuali Abu
Bakar As Siddiq, maka dia menyemirnya dengan daun pacar dan katam.
Abu
Bakar As Siddiq dilahirkan di Mekah dari keturunan Bani Tamim (
Attamimi ), suku bangsa Quraisy. Berdasarkan beberapa sejarawan Islam,
ia adalah seorang pedagang, hakim dengan kedudukan tinggi, seorang yang
terpelajar serta dipercayai sebagai orang yang bisa menafsirkan mimpi.
Era Bersama Nabi Muhammad Saw
Era Bersama Nabi Muhammad Saw
Sebagaimana
yang juga dialami oleh para pemeluk Islam pada masa awal. Ia juga
mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh penduduk Mekkah yang mayoritas
masih memeluk agama nenek moyang mereka. Namun, penyiksaan terparah
dialami oleh mereka yang berasal dari golongan budak. Sementara para
pemeluk non budak biasanya masih dilindungi oleh para keluarga dan
sahabat mereka, para budak disiksa sekehendak tuannya. Hal ini mendorong
Abu Bakar As Siddiq membebaskan para budak tersebut dengan membelinya
dari tuannya kemudian memberinya kemerdekaan. Sehingga diriwayatkan
bahwa Abu Bakar As Siddiq memiliki 9 toko yang semuanya habis dibuat
untuk tegaknya agama islam. Beberapa budak yang ia bebaskan antara
lain :
- Bilal bin Rabbah
- Abu Fakih
- Ammar
- Abu Fuhaira
- Lubainah
- An Nahdiah
- Ummu Ubays
- Zinnira
Ketika
peristiwa Hijrah, saat Nabi Muhammad SAW pindah ke Madinah (622 M), Abu
Bakar As Siddiq adalah satu-satunya orang yang menemaninya. Abu Bakar
As Siddiq juga terikat dengan Nabi Muhammad secara kekeluargaan. Anak
perempuannya, Aisyah menikah dengan Nabi Muhammad beberapa saat setelah
Hijrah.
Menjadi Khalifah
Menjadi Khalifah
Selama
masa sakit Rasulullah SAW saat menjelang ajalnya, dikatakan bahwa Abu
Bakar As Siddiq ditunjuk untuk menjadi imam shalat menggantikannya,
banyak yang menganggap ini sebagai indikasi bahwa Abu Bakar As Siddiq
akan menggantikan posisinya. Segera setelah kematiannya (632), dilakukan
musyawarah di kalangan para pemuka kaum Anshar dan Muhajirin di
Madinah, yang akhirnya menghasilkan penunjukan Abu Bakar As Siddiq
sebagai pemimpin baru umat Islam atau khalifah Islam.
Apa
yang terjadi saat musyawarah tersebut menjadi sumber perdebatan.
Penunjukan Abu Bakar As Siddiq sebagai khalifah adalah subyek yang
sangat kontroversial dan menjadi sumber perpecahan pertama dalam Islam,
dimana umat Islam terpecah menjadi kaum Sunni dan Syi'ah. Di satu sisi
kaum Syi'ah percaya bahwa seharusnya Ali bin Abi Thalib (menantu nabi
Muhammad), yang menjadi pemimpin dan dipercayai ini adalah keputusan
Rasulullah SAW sendiri sementara kaum sunni berpendapat bahwa Rasulullah
SAW menolak untuk menunjuk penggantinya. Kaum sunni berargumen bahwa
Rasulullah mengedepankan musyawarah untuk penunjukan pemimpin. Sementara
muslim syi'ah berpendapat kalau Rasulullah saw dalam hal-hal terkecil
seperti sebelum dan sesudah makan, minum, tidur, dll, tidak pernah
meninggalkan umatnya tanpa hidayah dan bimbingan apalagi masalah
kepemimpinan umat terahir, dan juga banyak hadits di Sunni maupun Syi'ah
tentang siapa khalifah sepeninggal Rasulullah saw, serta jumlah
pemimpin islam yang dua belas. Terlepas dari kontroversi dan kebenaran
pendapat masing-masing kaum tersebut, Ali bin Abu Thalib sendiri secara
formal menyatakan kesetiaannya (berbai'at) kepada Abu Bakar As Siddiq
dan dua khalifah setelahnya (Umar bin Khattab dan Usman bin Affan).
Kaum sunni menggambarkan pernyataan ini sebagai pernyataan yang
antusias dan Ali bin Abu Thalib menjadi pendukung setia Abu Bakar As
Siddiq dan Umar bin Khattab. Sementara kaum syi'ah menggambarkan bahwa
Ali bin Abu Thalib melakukan baiat tersebut secara "pro forma,"
mengingat beliau berbaiat setelah sepeninggal Fatimah istri beliau yang
berbulan bulan lamanya dan setelah itu ia menunjukkan protes dengan
menutup diri dari kehidupan publik.
Perang Ridda
Segera
setelah menjabat Abu Bakar As Siddiq, beberapa masalah yang mengancam
persatuan dan stabilitas komunitas dan negara Islam saat itu muncul.
Beberapa suku Arab yang berasal dari Hijaz dan Nejed membangkang kepada
khalifah baru dan sistem yang ada. Beberapa diantaranya menolak
membayar zakat walaupun tidak menolak agama Islam secara utuh. Beberapa
yang lain kembali memeluk agama dan tradisi lamanya yakni penyembahan
berhala. Suku-suku tersebut mengklaim bahwa hanya memiliki komitmen
dengan Nabi Muhammad SAW dan dengan kematiannya komitmennya tidak
berlaku lagi. Berdasarkan hal ini Abu Bakar menyatakan perang terhadap
mereka yang dikenal dengan nama perang Ridda. Dalam perang Ridda
peperangan terbesar adalah memerangi "Ibnu Habib al-Hanafi" yang lebih
dikenal dengan nama Musailamah Al-Kazab (Musailamah si pembohong), yang
mengklaim dirinya sebagai nabi baru menggantikan Nabi Muhammad SAW.
Musailamah kemudian dikalahkan pada pertempuran Akraba oleh Khalid bin
Walid.
Al Quran
Al Quran
Abu Bakar As Siddiq juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis Al Quran.
Dikatakan bahwa setelah kemenangan yang sangat sulit saat melawan
Musailamah dalam perang Ridda, banyak penghafal Al Qur'an yang ikut
tewas dalam pertempuran. Abu Bakar As Siddiq lantas meminta Umar bin
Khattab untuk mengumpulkan koleksi dari Al Qur'an. Setelah lengkap
koleksi ini, yang dikumpulkan dari para penghafal Al-Quran dan
tulisan-tulisan yang terdapat pada media tulis seperti tulang, kulit dan
lain sebagainya, oleh sebuah tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin
Tsabit, kemudian disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar bin Khattab dan
juga istri dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian pada masa
pemerintahan Ustman bin Affan koleksi ini menjadi dasar penulisan teks
al Qur'an hingga yang dikenal hingga saat ini.
Abu
Bakar As Siddiq meninggal pada tanggal 23 Agustus 634/ 8 Jumadil Awwal
13 H di Madinah pada usia 63 tahun. Beliau berwasiat agar jenazahnya
dimandikan oleh Asma` binti Umais, istri beliau. Kemudian beliau
dimakamkan di samping makam Rasulullah. Umar mensholati jenazahnya
diantara makam Nabi dan mimbar (ar-Raudhah) . Sedangkan yang turun
langsung ke dalam liang lahat adalah putranya yang bernama Abdurrahman
(bin Abi Bakar), Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Thalhah bin Ubaidillah.
Sumber : wikipedia dan lainnya.
Langganan:
Postingan (Atom)